Mengorbankan Kasih Yang Semula Kepada Tuhan
Kasih yang mula-mula adalah sebuah istilah yang secara umum menggambarkan sebuah situasi dimana seseorang pertama kali jatuh cinta dengan seseorang yang menjadi pasangannya. Apapun rela dikorbankan demi memiliki waktu yang berkualitas bersama dengan si dia. Ada sebuah rasa rindu yang senantiasa bergelora untuk berjumpa dengannya, sangat senang bersamanya dan melakukan apapun dengan sukacita untuknya.
Dalam konteks kehidupan rohani, kasih mula-mula adalah saat kita mengalami perjumpaan dengan Tuhan Yesus, kita sadar betapa Tuhan Yesus sangat mengasihi kita dan rela mati untuk menebus dosa-dosa kita. Ini adalah sebuah momen dimana kita mengalami kelahiran baru, bertobat dan menerima Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat kita.
Sekalipun pengalaman perjumpaan dengan Tuhan Yesus masing-masing kita memiliki perbedaan, namun pengalaman kasih yang mula-mula kepada Tuhan Yesus pasti sama. Ini adalah sebuah momen dimana kita memiliki kerinduan yang besar untuk memiliki waktu yang berkualitas bersekutu dengan-Nya, kita menjadi sangat rajin beribadah bahkan kita bersaksi tentang kebaikan Tuhan Yesus dimana saja dan kita mengambil bagian dalam pelayanan tanpa memiliki motivasi yang lain kecuali untuk menyenangkan hati-Nya.
Pertanyaannya kemudian bukanlah bagaimana kondisi kasih yang mula-mula kita dahulu, melainkan bagaimana kondisi kasih kita yang sekarang ini? Adakah masih bergelora seperti dahulu? Adakah apinya berkobar makin besar atau justru sebaliknya makin memudar dan hampir padam seperti yang dialami oleh jemaat di Efesus?
Wahyu 2:2-5
“Aku tahu segala pekerjaanmu: baik jerih payahmu maupun ketekunanmu. Aku tahu, bahwa engkau tidak dapat sabar terhadap orang-orang jahat, bahwa engkau telah mencobai mereka yang menyebut dirinya rasul, tetapi yang sebenarnya tidak demikian, bahwa engkau telah mendapati mereka pendusta. Dan engkau tetap sabar dan menderita oleh karena nama-Ku; dan engkau tidak mengenal lelah. Namun demikian Aku mencela engkau, karena engkau telah meninggalkan kasihmu yang semula. Sebab itu ingatlah betapa dalamnya engkau telah jatuh! Bertobatlah dan lakukanlah lagi apa yang semula engkau lakukan. Jika tidak demikian, Aku akan datang kepadamu dan Aku akan mengambil kaki dianmu dari tempatnya, jikalau engkau tidak bertobat.”
Jangan biarkan kasih yang mula-mula menjadi padam, kita harus senantiasa mengobarkannya. Bagaimana caranya? Wahyu 2:5 menunjukkan tiga langkah kepada kita untuk kembali mengobarkan kasihbyang semula: (1) menyadari keadaan kita yang sudah jatuh dan menjauh dari kasih Tuhan Yesus; (2) bertobat, minta ampun kepada Tuhan Yesus; dan (3) lakukan lagi apa yang semula kita lakukan saat kita mengalami perjumpaan dengan Tuhan Yesus.
Setelah kita mengobarkan kembali kasih yang mula-mula, apa yang harus kita lakukan?
Surat Rasul Paulus kepada jemaat di kota Efesus menjelaskan panjang lebar soal bagaimana seharusnya kehidupan suami-isteri yang hidup dalam kasih Kristus. Namun di penghujung nasihat yang diinspirasikan Roh Kudus ini, Paulus berkata: "rahasia ini besar, tetapi yang aku maksudkan ialah hubungan Kristus dan jemaat" (Efesus 5:32)
Dari Perikop Efesus 5:22-33 kita belajar bahwa sebagai mempelai wanita Kristus, kita harus tunduk kepada Dia, Sang Mempelai Pria. Tunduk berarti kita mengikuti segala yang difirmankan-Nya. Tunduk berarti menghormati Dia sebagai otoritas tertinggi dalam hidup kita. Tunduk berarti mempercayakan hidup kita untuk terus bergantung pada-Nya.
Tunduk dan memiliki ketaatan itulah yang membuat perjamuan kawin di Kana memiliki anggur terbaik mendekati penghujung pesta, saat Tuhan Yesus melakukan mukjizat yang pertama: Air menjadi Anggur. Anggur yang terbaik itu dibuat oleh Yesus secara mukjizat karena ada para pelayan yang bertindak untuk tunduk akan perintah: "Apa yang dikatakan kepadamu, buatlah itu!" (Yohanes 2:5). Maranatha